Selamat datang di website pribadi saya. Selamat membaca dan belajar dari tulisan-tulisan saya. Semoga menjadi manfaat dan bernnilai pahala jariyah disisi Allah SWT.

Senin, 23 Mei 2016

Realita vs Idealita Ketakwaan

Muslim yang paling ideal adalah muslim yang paling bertakwa. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat [49] : 13 :
 …إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
 …Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Takwa adalah tingkat tertinggi manusia di hadapan Allah swt. Balasannya pun adalah surga yang penuh dengan kenikmatan tiada tara.  Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Lail [92] : 17
 وَسَيُجَنَّبُهَا الأتْقَى
dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,

Meskipun ayat ini memiliki sebab khusus yaitu mengenai Abu Bakar Ash-Shidiq R.A., namun lafalnya umum. Sehingga, berdasarkan kaidah ushul fiqih al ibratu bil umum al-lafdhu la bil khusus al-sabab, maka ayat ini difahami umum bahwa yang paling bertakwa yang akan dijauhkan dari neraka bukan hanya Abu Bakar Ash-Shidiq R.A, melainkan siapa saja yang orang memenuhi syarat-syarat takwa itu akan dijauhkan dari neraka. Secara kaidah, ushul fiqih fahum mukhalafah (pemahaman sebaliknya), makna dijauhkan dari neraka berarti orang yang paling bertakwa akan didekatkan ke surga.

Banyak pendapat dari para ulama mengenai definisi takwa. Namun yang banyak disetujui bahwa takwa adalah menjauhi seluruh larangan Allah dan menjalankan seluruh perintah-Nya. Inilah idealnya sikap seorang muslim sejati. Namun hal ini tidak mudah untuk dicapai. Ia tidak akan datang dengan sendirinya. Ia perlu didaki dengan kesungguhan. Ia meski ditempuh dengan perjuangan.

Meskipun balasan untuk ketakwaan itu begitu menggiurkan, namun untuk menggapainya tidaklah semudah dan seindah yang dibayangkan. Jalan takwa tidaklah mulus dan lancar. Ia menanjak dan penuh alang rintang. Tidak semua manusia bersedia mendakinya. Dan tidak semua yang bersedia mendakinya sampai di puncaknya. Tidak ada ukuran yang pasti dari tingkat ketakwaan seseorang. Kita tidak bisa menilai bahwa si fulan adalah orang yang paling takwa, si fulan kurang bertakwa, sedang yang lainnya tidak bertakwa dengan melihat lahirnya saja, meskipun ketakwaan itu akan tercermin dari akhlaq seseorang namun yang mengetahui hakikat ketakwaan seseorang hanya Allah Swt.

Bisa saja orang yang nampak di hadapan manusia sebagai orang yang kurang amalnya, biasa saja ibadahnya, tidak ada yang spesial dari amalannya justru dialah yang paling takwa di hadapan Allah Swt. Pun juga sebaliknya, orang yang nampak giat beribadah, banyak amalnya namun dihadapan Allah Swt. mungkin dia bukanlah siapa-siapa. Tidak ada jaminan yang pasti.

Seringkali kita memvonis si fulan sebagai orang yang tidak bertakwa hanya dia tidak kelihatan banyak ibadahnya, sedikit amalannya. Dan menyanjung diri sendiri sebagai orang yang paling takwa karena kita lebih banyak amalannya dan ibadahnya dibanding orang lain. Yang demikian itu bukanlah hal yang benar. Giat memperbanyak amal ibadah adalah hal yang baik bahkan itu dianjurkan. Tetapi memvonis siapa yang paling bertakwa bukahlah tugas kita. Kita hanya diperintahkan untuk beribadah. Tidak pula untuk menilainya.

Tidak jarang, ketika kita melihat orang yang tidak pernah shalat sunah rawatib kemudian kita katakan, “ah dia itu kurang takwa, sering meninggalkan shalat sunnah.” Atau ketika mendengar rekan kita yang hanya membaca Al-Qur’an selembar sehari lalu kita katakan, “ah masa udah dewasa begitu tilawah Qur’annya hanya selembar sehari kaya anak kecil saja. Satu juz dong!”, atau juga ketika kita melihat orang tua kita yang pulang kerja sampai larut malam kemudian tidak pernah shalat tahajud lalu kita katakan, “aduh, bagaimana ini malah sibuk mencari dunia tapi melupakan akhirat.”

Memang benar, mengerjakan shalat sunnah setelah shalat wajib itu sangat dianjurkan oleh Rasulullah, bahkan keutamaannya pun luar biasa. Tidak salah bahwa membaca Al-Qur’an sebanyak-banyak itu adalah baik dan menentramkan jiwa. Sudah pula dimaklum bahwa shalat tahajud di sepertiga malam terakhir memiliki keutamaan sangat besar. Dan banyak ibadah lain yang juga disunnahkan dan memiliki keutamaan yang besar seperti sedekah, shaum sunnah, berdzikir, dan lain sebagainya.

Itulah idealita keshalehan dan ketakwaan yang sesungguhnya. Itulah takwaan yang ideal. Namun setiap orang punya kapasitas kemampuan masing-masing, yang berbeda antara satu sama lain. Boleh jadi ada di antara kita yang membaca Al-Qur,an sehari satu juz itu ringan, bahkan sanggup menambahnya sampai dua, tiga, atau lima juz perhari tapi dia lemah untuk shalat tahajud karena susah bangun. Adapula yang sanggup berdiri lama di malam hari untuk tahajud, namun kurang kuat menahan lapar untuk shaum sunnah. Boleh jadi ada yang giat mencari nafkah untuk keluarganya tapi dia sedikit membaca Al-Qur’annya. Dan seterusnya.

Versi lengkap tulisan ini telah di muat di website Percikan Iman, silahkan jika ingin membacanya klik disini

0 komentar:

Posting Komentar