Muslim yang paling ideal adalah muslim yang
paling bertakwa. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat [49] :
13 :
…إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
…Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Takwa adalah tingkat tertinggi manusia di
hadapan Allah swt. Balasannya pun adalah surga yang penuh dengan kenikmatan
tiada tara. Hal ini dijelaskan dalam
Al-Quran surat Al-Lail [92] : 17
وَسَيُجَنَّبُهَا الأتْقَى
dan kelak akan dijauhkan orang yang paling
takwa dari neraka itu,
Meskipun ayat ini memiliki sebab khusus yaitu
mengenai Abu Bakar Ash-Shidiq R.A., namun lafalnya umum. Sehingga, berdasarkan
kaidah ushul fiqih al ibratu bil umum al-lafdhu la bil khusus al-sabab, maka
ayat ini difahami umum bahwa yang paling bertakwa yang akan dijauhkan dari
neraka bukan hanya Abu Bakar Ash-Shidiq R.A, melainkan siapa saja yang orang
memenuhi syarat-syarat takwa itu akan dijauhkan dari neraka. Secara kaidah,
ushul fiqih fahum mukhalafah (pemahaman sebaliknya), makna dijauhkan dari
neraka berarti orang yang paling bertakwa akan didekatkan ke surga.
Banyak pendapat dari para ulama mengenai
definisi takwa. Namun yang banyak disetujui bahwa takwa adalah menjauhi seluruh
larangan Allah dan menjalankan seluruh perintah-Nya. Inilah idealnya sikap
seorang muslim sejati. Namun hal ini tidak mudah untuk dicapai. Ia tidak akan
datang dengan sendirinya. Ia perlu didaki dengan kesungguhan. Ia meski ditempuh
dengan perjuangan.
Meskipun balasan untuk ketakwaan itu begitu
menggiurkan, namun untuk menggapainya tidaklah semudah dan seindah yang
dibayangkan. Jalan takwa tidaklah mulus dan lancar. Ia menanjak dan penuh alang
rintang. Tidak semua manusia bersedia mendakinya. Dan tidak semua yang bersedia
mendakinya sampai di puncaknya. Tidak ada ukuran yang pasti dari tingkat
ketakwaan seseorang. Kita tidak bisa menilai bahwa si fulan adalah orang yang
paling takwa, si fulan kurang bertakwa, sedang yang lainnya tidak bertakwa
dengan melihat lahirnya saja, meskipun ketakwaan itu akan tercermin dari akhlaq
seseorang namun yang mengetahui hakikat ketakwaan seseorang hanya Allah Swt.
Bisa saja orang yang nampak di hadapan manusia
sebagai orang yang kurang amalnya, biasa saja ibadahnya, tidak ada yang spesial
dari amalannya justru dialah yang paling takwa di hadapan Allah Swt. Pun juga
sebaliknya, orang yang nampak giat beribadah, banyak amalnya namun dihadapan
Allah Swt. mungkin dia bukanlah siapa-siapa. Tidak ada jaminan yang pasti.
Seringkali kita memvonis si fulan sebagai
orang yang tidak bertakwa hanya dia tidak kelihatan banyak ibadahnya, sedikit
amalannya. Dan menyanjung diri sendiri sebagai orang yang paling takwa karena
kita lebih banyak amalannya dan ibadahnya dibanding orang lain. Yang demikian
itu bukanlah hal yang benar. Giat memperbanyak amal ibadah adalah hal yang baik
bahkan itu dianjurkan. Tetapi memvonis siapa yang paling bertakwa bukahlah
tugas kita. Kita hanya diperintahkan untuk beribadah. Tidak pula untuk
menilainya.
Tidak jarang, ketika kita melihat orang yang
tidak pernah shalat sunah rawatib kemudian kita katakan, “ah dia itu kurang
takwa, sering meninggalkan shalat sunnah.” Atau ketika mendengar rekan kita
yang hanya membaca Al-Qur’an selembar sehari lalu kita katakan, “ah masa udah
dewasa begitu tilawah Qur’annya hanya selembar sehari kaya anak kecil saja.
Satu juz dong!”, atau juga ketika kita melihat orang tua kita yang pulang kerja
sampai larut malam kemudian tidak pernah shalat tahajud lalu kita katakan,
“aduh, bagaimana ini malah sibuk mencari dunia tapi melupakan akhirat.”
Memang benar, mengerjakan shalat sunnah
setelah shalat wajib itu sangat dianjurkan oleh Rasulullah, bahkan keutamaannya
pun luar biasa. Tidak salah bahwa membaca Al-Qur’an sebanyak-banyak itu adalah
baik dan menentramkan jiwa. Sudah pula dimaklum bahwa shalat tahajud di sepertiga
malam terakhir memiliki keutamaan sangat besar. Dan banyak ibadah lain yang
juga disunnahkan dan memiliki keutamaan yang besar seperti sedekah, shaum
sunnah, berdzikir, dan lain sebagainya.
Itulah idealita keshalehan dan ketakwaan yang
sesungguhnya. Itulah takwaan yang ideal. Namun setiap orang punya kapasitas
kemampuan masing-masing, yang berbeda antara satu sama lain. Boleh jadi ada di
antara kita yang membaca Al-Qur,an sehari satu juz itu ringan, bahkan sanggup
menambahnya sampai dua, tiga, atau lima juz perhari tapi dia lemah untuk shalat
tahajud karena susah bangun. Adapula yang sanggup berdiri lama di malam hari
untuk tahajud, namun kurang kuat menahan lapar untuk shaum sunnah. Boleh jadi
ada yang giat mencari nafkah untuk keluarganya tapi dia sedikit membaca
Al-Qur’annya. Dan seterusnya.
Versi lengkap tulisan ini telah di muat di website Percikan Iman, silahkan jika ingin membacanya klik disini
0 komentar:
Posting Komentar