Selamat datang di website pribadi saya. Selamat membaca dan belajar dari tulisan-tulisan saya. Semoga menjadi manfaat dan bernnilai pahala jariyah disisi Allah SWT.

Senin, 23 Mei 2016

Realita vs Idealita Ketakwaan

Muslim yang paling ideal adalah muslim yang paling bertakwa. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat [49] : 13 :
 …إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
 …Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Takwa adalah tingkat tertinggi manusia di hadapan Allah swt. Balasannya pun adalah surga yang penuh dengan kenikmatan tiada tara.  Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Lail [92] : 17
 وَسَيُجَنَّبُهَا الأتْقَى
dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu,

Meskipun ayat ini memiliki sebab khusus yaitu mengenai Abu Bakar Ash-Shidiq R.A., namun lafalnya umum. Sehingga, berdasarkan kaidah ushul fiqih al ibratu bil umum al-lafdhu la bil khusus al-sabab, maka ayat ini difahami umum bahwa yang paling bertakwa yang akan dijauhkan dari neraka bukan hanya Abu Bakar Ash-Shidiq R.A, melainkan siapa saja yang orang memenuhi syarat-syarat takwa itu akan dijauhkan dari neraka. Secara kaidah, ushul fiqih fahum mukhalafah (pemahaman sebaliknya), makna dijauhkan dari neraka berarti orang yang paling bertakwa akan didekatkan ke surga.

Banyak pendapat dari para ulama mengenai definisi takwa. Namun yang banyak disetujui bahwa takwa adalah menjauhi seluruh larangan Allah dan menjalankan seluruh perintah-Nya. Inilah idealnya sikap seorang muslim sejati. Namun hal ini tidak mudah untuk dicapai. Ia tidak akan datang dengan sendirinya. Ia perlu didaki dengan kesungguhan. Ia meski ditempuh dengan perjuangan.

Meskipun balasan untuk ketakwaan itu begitu menggiurkan, namun untuk menggapainya tidaklah semudah dan seindah yang dibayangkan. Jalan takwa tidaklah mulus dan lancar. Ia menanjak dan penuh alang rintang. Tidak semua manusia bersedia mendakinya. Dan tidak semua yang bersedia mendakinya sampai di puncaknya. Tidak ada ukuran yang pasti dari tingkat ketakwaan seseorang. Kita tidak bisa menilai bahwa si fulan adalah orang yang paling takwa, si fulan kurang bertakwa, sedang yang lainnya tidak bertakwa dengan melihat lahirnya saja, meskipun ketakwaan itu akan tercermin dari akhlaq seseorang namun yang mengetahui hakikat ketakwaan seseorang hanya Allah Swt.

Bisa saja orang yang nampak di hadapan manusia sebagai orang yang kurang amalnya, biasa saja ibadahnya, tidak ada yang spesial dari amalannya justru dialah yang paling takwa di hadapan Allah Swt. Pun juga sebaliknya, orang yang nampak giat beribadah, banyak amalnya namun dihadapan Allah Swt. mungkin dia bukanlah siapa-siapa. Tidak ada jaminan yang pasti.

Seringkali kita memvonis si fulan sebagai orang yang tidak bertakwa hanya dia tidak kelihatan banyak ibadahnya, sedikit amalannya. Dan menyanjung diri sendiri sebagai orang yang paling takwa karena kita lebih banyak amalannya dan ibadahnya dibanding orang lain. Yang demikian itu bukanlah hal yang benar. Giat memperbanyak amal ibadah adalah hal yang baik bahkan itu dianjurkan. Tetapi memvonis siapa yang paling bertakwa bukahlah tugas kita. Kita hanya diperintahkan untuk beribadah. Tidak pula untuk menilainya.

Tidak jarang, ketika kita melihat orang yang tidak pernah shalat sunah rawatib kemudian kita katakan, “ah dia itu kurang takwa, sering meninggalkan shalat sunnah.” Atau ketika mendengar rekan kita yang hanya membaca Al-Qur’an selembar sehari lalu kita katakan, “ah masa udah dewasa begitu tilawah Qur’annya hanya selembar sehari kaya anak kecil saja. Satu juz dong!”, atau juga ketika kita melihat orang tua kita yang pulang kerja sampai larut malam kemudian tidak pernah shalat tahajud lalu kita katakan, “aduh, bagaimana ini malah sibuk mencari dunia tapi melupakan akhirat.”

Memang benar, mengerjakan shalat sunnah setelah shalat wajib itu sangat dianjurkan oleh Rasulullah, bahkan keutamaannya pun luar biasa. Tidak salah bahwa membaca Al-Qur’an sebanyak-banyak itu adalah baik dan menentramkan jiwa. Sudah pula dimaklum bahwa shalat tahajud di sepertiga malam terakhir memiliki keutamaan sangat besar. Dan banyak ibadah lain yang juga disunnahkan dan memiliki keutamaan yang besar seperti sedekah, shaum sunnah, berdzikir, dan lain sebagainya.

Itulah idealita keshalehan dan ketakwaan yang sesungguhnya. Itulah takwaan yang ideal. Namun setiap orang punya kapasitas kemampuan masing-masing, yang berbeda antara satu sama lain. Boleh jadi ada di antara kita yang membaca Al-Qur,an sehari satu juz itu ringan, bahkan sanggup menambahnya sampai dua, tiga, atau lima juz perhari tapi dia lemah untuk shalat tahajud karena susah bangun. Adapula yang sanggup berdiri lama di malam hari untuk tahajud, namun kurang kuat menahan lapar untuk shaum sunnah. Boleh jadi ada yang giat mencari nafkah untuk keluarganya tapi dia sedikit membaca Al-Qur’annya. Dan seterusnya.

Versi lengkap tulisan ini telah di muat di website Percikan Iman, silahkan jika ingin membacanya klik disini

Urgensi Studi Matan Hadis berbahasa Indonesia

Seluruh umat islam telah menerima paham bahwa hadits Rasulullah S.A.W. itu sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. kedudukan hadits terhadap al-Qur’an adalah sebagai bayan tafsir atau sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang sulit difahami oleh keumuman kaum muslimin, merinci ayat-ayatnya yang mujmal, mentakhsis ayat-ayatnya yang bersifat umum, membatasi ayat-ayatnya yang mutlak, dan adapula yang menasakh ayat-ayatnya yang mansukh. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Qur’an itu sendiri yaitu dalam surat al-Nahl ayat 44 bahwa Rasulullah S.A.W. bertugas untuk menerangkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dengan perkataannya, perbuatannya, sifat dan persetujuannya atau yang kita sebut al-Sunnah / al-Hadist, “... dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,”

Meskipun hadits berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an, namun keauthentikan hadits tidaklah terjaga sesempurna al-Qur’an yang secara langsung dijamin keasliannya oleh Allah S.W.T.. Terlepas dari sejarah penulisan hadits terjadi belakangan daripada al-Qur’an karena untuk menjaga kemurnian al-Qur’an agar tidak tercampur dengan teks hadits, pada kenyataannya kita banyak menemukan hadits-hadits yang kualitasnya dhaif (lemah) dan ghairu ma’mul bih (tidak boleh diamalkan) bahkan banyak ditemukan hadits-hadits palsu yang dibuat oleh musuh-musuh Islam untuk menimbulkan fitnah terhadap kaum Muslimin. Oleh karena itu, para ulama alhi hadits telah menyusun sebuah disiplin ilmu yang bertujuan agar tidak salah dalam mengambil sebuah hadits dan mengamalkannya. Ilmu itu yang disebut Musthalah al-Hadits.

Terdapat banyak sekali karya para ulama ahli hadits yang telah lalu dalam Musthalah al-Hadits. Hampir kesemuanya berbahasa Arab. Dan setiap orang yang ingin memperdalam mengenai Musthalah al-Hadits, sudah menjadi syarat utama bahwa dia harus menguasai terlebih dahulu bahasa Arab keseluruhannya. Hal ini menjadi masalah ketika orang yang baru mengenal ilmu hadits sementara dia belum menguasai bahasa Arab. Ia merasa kesulitan dan susah untuk mempelajarinya. Dengan berbekal kemampuan dan pengalamannya sebagai dosen Ilmu Musthalah al-Hadits di beberapa fakultas IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta khususnya di Fakultas Tarbiyah, Drs. Fatchur Rahman mencoba membuat sebuah ringkasan mengenai ilmu Musthalah al-Hadits dari kitab-kitab induk Musthalah al-Hadits kedalam bahasa Indonesia. Karyanya ini kemudian diterbitkan oleh PT al-Ma’arif Bandung pada tahun 1974 menjadi sebuah buku dan menjadi pedoman untuk pembelajaran ilmu hadits bagi mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan juga bagi setiap muslim yang hendak memperlajari ilmu Musthalah al-Hadits namun terkendala penguasaaan bahasa Arab.

Resensi Buku tersebut secara lengkap dapat di download disini
[Tugas Ullumul hadits IV, Studi Matan Hadits, Semester 4]

Pendekatan semantik terhadap makna kata subhana dan padanannya dalam al-Qur’an (Review Skripsi)



Buku ini merupakan karya skripsi yang dibuat oleh Tanti Kurniawati seorang mahasiswi jurusan Tafsir Hadits sebagai syarat mendapatkan gelar Sarjana Theologi Islam. Karya ini diterbitkan oleh jurusan Tafsir Hadits fakultas Ushuluddin IAIN Bandung pada tahun 2003. Skripsi yang berjudul “Pendekatan Semantik terhadap Makna Subhana dan Padanannya dalam Al-Qur’an” ini terdiri dari empat bab utama; pertama, Bab I Pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, dan langkah-langkah penelitian. Kedua, Bab II Landasan Teoritis Pendekatan Semantik yang membahas mengenai pengertian pendekatan semantik, ruang lingkup dan fokus penelitian semantik, teori dan teknik analisis semantik. Ketiga, Bab III Pendekatan Semantik Terhadap Makna Kata Subhana Dan Padanannya Dalam Al-Qur’an. Bab ketiga ini merupakan bab pembahasan utama dari karya skripsi ini, yang dibahas pada bab ini adalah inventarisir ayat-ayat tentang kata subhana dalam al-Qur’an, analisis medan semantik terhadap makna kata subhana dan padanannya dalam al-Qur’an, analisis komponen semantik terhadap makana kata subhana dan padanannya dalam al-Qur’an, analisis kombinasi semantik terhadap makana kata subhana dan padanannya dalam al-Qur’an. Dan bab yang keempat adalah Bab IV kesimpulan.

Fokus dari karya ini adalah meneliti makna dari kata subhana dan padanannya yaitu kata tabaroka dan qudus yang terdapat dalam al-Qur’an. Jenis pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan semantik yang berfokus pada pencarian makna dari kata subhana dan padanannya. Selain berusaha mengungkapkan makna dari tanda bunyi bahasanya, penulis juga berusaha mencari makna kata itu dari sisi sosiologi, psikologi, filsafat, dan antropologi dalam memahami makna kata subhana dan padanannya. karya ini merupakan penelitian studi literatur sehingga data-data yang mendukung penelitian ini bersumber dari teks-teks buku karya para ulama yaitu Al-quran dan terjemahnya, kitab-kitab tafsir al-quran baik klasik maupun kontemporer, buku-buku ullumul qur’an, dan buku-buku mengenai penelitian semantik. Seluruh data tersebut diperoleh dengan menggunakan metode deskripsi analisis. Data dihimpun dengan teknik dokumentasi pencatatan yaitu mengumpulkan data, mengelompokannya, kemudian menginterpretasikannya.

Setelah melakukan penelitian, penulis menemukan bahwa kata subhana dalam al-Qur’an disebut 41 kali pada 27 surat, kata tabaroka sebanyak 9 kali dalam 7 surat, dan kata qudus sebanyak 2 kali dalam 2 surat. Kata subhana, tabaraka, dan qudus yang diterjemahkan “maha suci” ternyata memiliki makna yang berbeda setelah dilakukan kajian bahasa dengan pendekatan semantik. Subhana dengan menekankan pada rabbaniyah dan uluhiyah memiliki makna “maha suci allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya”, tabaroka dengan konteks pemberian karunia-Nya bermakna “maha suci Allah yang mempunyai sifat khusus yaitu pemberi karunia yang banyak”, sementara kata qudus dalam konteks asmaul husna memiliki arti sifat Allah (yang maha suci, -ed) / rahbaniyah.

Pembahasan karya skripsi ini sangat mudah dipahami. Bahasa yang digunakan tidak berbelit dan disampaikan secara sistematis. Namun karena begitu sederhananya, karya ini tidak akan cukup memuaskan jika dibaca oleh kalangan akademik jurusan tafsir hadits. Pembahasan ketika mengungkap makna kata dari subhana dan padanannya tidak detail dan mendalam. Kemudian tidak mengungkapkan pendapat-pendapat para mufasir terhadap makna kata subhana dan padanannya ketika mengulas ayat. Sehingga berkesan sangat global dan renyah.

[Tugas Metodologi Penelitian Ilmiah, Riview Buku, Semester 4] - File lengkapnya bisa didownload disini

Hukum Testimoni Palsu


حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّجْشِ
“Abdullah bin Maslamah menyampaikan kepada kami dari Malik dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar berkata, “Rasulullah S.A.W. melarang Najsy.” (H.R. Bukhari)

Dalam hadits diatas terdapat kata النَّجْشِ / Najsy yang secara bahasa artinya adalah membangkitkan. Kata ini berasal dari kata نجش , dalam kamus al-Munawwir kata kata ini memiliki arti نجش الشيء (menghimpun), نجش النار  (menyalakan), نجش الحديث  (menyiarkan), نجش في البيع (menawar dengan maksud agar orang lain menawar lebih tinggi), المنجوش من القول (perkataan yang dibuat-buat).

Sejak jaman dulu praktek najsy ini sudah dilakukan dengan cara si penjual barang bersekutu dengan orang lain untuk berpura-pura menjadi pembeli kemudian dia beradu menaikan harga dengan pembeli yang sesungguhnya terhadap barang dagangannya dengan maksud supaya si pembeli yang sesungguhnya membeli barang itu dengan harga yang sangat tinggi dan si penjual mendapatkan untuk yang melambung dan belipat-lipat dari semula. Atau cara dengan cara lain yang hampir sama, yaitu si penjual bersekutu dengan sesorang untuk berpura-pura menjadi pembeli namun yang dilakukannya bukan beradu harga, namun dia memuji-muji barang yang akan dijual itu didepan para pembeli agar harga barang itu semakin naik. Dan hal ini termasuk penipuan dan menimbulkan kerugian besar bagi pembeli.

Najsy dalam praktek memiliki tiga bentuk. Pertama, menaikan harga barang tanpa maksud membelinya. Kedua, memuji-muji / menjelaskan kriteria barang padahal tidak sesuai kenyataannya. Dua point ini telah dijelaskan sebagaima uraian diatas. Dan yang ketiga, penjual berkata,”harga pokok barang ini sekian,” padahal dia berdusta.

Bentuk Najsy yang kedua inilah yang disebut dengan testimoni palsu dalam jual beli online. Dalam praktiknya, si penjual memajangkan produk-produk dagangan di beranda took online miliknya, disertai dengan gambar produk, kriteria, spesipikasi, beserta harga dan cara bayar-kirimnya. Supaya calon pembeli yang memlihat produk itu tertarik untuk membeli maka si penjual mengemas tampilan wesite/blognya semenarik mungkin dan membubuhkan kata-kata promosi yang menggairahkan. Kemudian dibagian bawah (biasanya) terdapat kolom komentar yang berisi testimoni atau pendapat dari konsumen-konsumen lain yang sudah merasakan atau memakai produk tersebut. Disinilah calon pembeli yang baru membaca produk itu akan semakin tertarik untuk membeli, karena dalam pikirannya bahwa produk yang ditawarkan itu telah teruji oleh banyak konsumen. Namun tak sedikit dari testimoni-testimoni itu yang palsu. Penjual mengambil photo-photo orang lain tanpa haknya dari media-media sosial kemudian memasukannya dalam kolom komentar dan memberikan komentar yang bagus-bagus dengan memuji-muji barang dagangannya dengan kalimat-kalimat yang dikendaki olehnya. Hal ini jelas merupakan penipuan. Karena testimoni itu bukan berasal dari konsumen yang asli. Itu hanya perkataan yang di ada-adakan oleh si penjual sendiri. Tidak jarang para konsumen yang tertipu menyesal dan merasa dirugikan setelah membeli produk tersebut dan ternyata tidak sesuai dengan testimoni yang diberikan. Hal ini jelas haram hukumnya. Karena ada pihak yang dirugikan. Dan jelas ini bertangan dengan teori jual-beli islam yang mengharuskan terdapat kerelaan / suka sama suka / tidak yang dirugian antara penjual dan pembeli.

[Tugas Hadits III, Muamalah, Ekonomi Syari'ah, Semester 4] - file lengkapnya silahkan donwload disini

Keuntungan vs Keberuntungan

Ihtikar adalah kegiatan menimbun suatu barang untuk dijual kemudian hari dengan tujuan supaya barang menjadi langka di pasaran sehingga harganya melonjak naik dari sebelumnya. Ini adalah perbuatan yang dilarang berdasarkan hadits berikut :
عن مَعْمَرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Dari Ma'mar RA, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Barang siapa menimbun barang, maka ia telah berbuat dosa.'" (H.R. Muslim)
 
Meski hadits diatas secara dzahirnya berbentuk khabari (pemberitaan) namun maknanya bermakna insyai dalam bentuk nahyi (larangan) sehingga hadits itu dipahami “Janganlah kalian menimbun barang! Karena itu adalah perbuatan dosa.” Sehingga jelas bahwa perbuatan itu adalah terlarang dan merupakan sebuah perbuatan dosa.

Terdapat pula hadits senada yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi dalam kitab sunannya, “dari Ma'mar bin Abdullah bin Nadhlah, ia berkata. "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Tidaklah menimbun barang kecuali orang yang berdosa". Kemudian dia mengomentari hadits ini bahwa para ulama sepakat mengamalkan hadits ini. Mereka memakruhkan menimbun bahan makanan. Namun ada sebagian dari mereka yang membolehkan menimbun selain bahan makanan. Ibnu Al Mubarak berkata, "Tidak mengapa menimbun kapas, kulit dan yang sepertinya.

Tidak semua barang haram untuk ditimbun. Ihtikar atau kegiatan menimbun yang dikatakan haram ketika ; barang yang ditimbun adalah kebutuhan pokok, aktivitas penimbunan akan membuat susah masyarakat karena kelangkaan barang tersebut, dan penimbunan bertujuan untuk mengeruk keuntungan dari harga barang yang melonjak tinggi. Misalkan, menimbun gas LPG, padahal barang tersebut adalah kebutuhan utama masyarakat modern untuk bahan bakar memasak sehari-hari, kegiatan menimbun gas LPG menimbulkan kelangkaan sehingga masyarakat kesulitan untuk mendapatkannya, kemudian setelah terjadi kelangkaan barulah orang yang menimbun gas tersebut menjualnya dengan harga yang sangat tinggi demi mendapat keuntungan yang banyak. Aktivitas menimbun seperti inilah yang terlarang. Berbeda misalnya ketika seorang petani melakukan aktivitas menimbun padi ketika stok padi melimpah sementara harganya sangat rendah di pasaran, hal itu dilakukan agar petani tidak mengalami kerugian yang besar. Hal ini tidaklah haram hukumnya, karena aktivitas penimbunan tidak bertujuan untuk merauk keuntungan yang tinggi tetapi untuk menghindari kerugian yang besar dan kegiatan ini tidak pula menyusahkan masyrakat meski yang ditimbun itu adalah bahan pokok sebab stok padi melimpah di pasaran. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh BULOG menimbun beras bukan dengan tujuan untuk menyusahkan masyarakat dan merauk keuntungan besar, tetapi sebaliknya supaya stabilitas harga bahan pokok terjaga dan masyarakat sejahtera dengan terpenuhinya kebutuhan pokok mereka.

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, islam mengatur bagaimana cara bermuamalah dengan sesama manusia supaya terjadi kesejahteraan dan terhindar dari kedzaliman. Dasar sistem ekonomi islam adalah ta’awun yaitu saling tolong menolong. Hal ini sebagaimana diperintahkan oleh Allah S.W.T dalam al-Qur’an surat al-Maidah [5] ayat 2 yang artinya, “... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Islam mengajarkan nilai-nilai sosial dalam melakukan perniagaan. Hak setiap orang terpelihara oleh syariat Islam, tidak boleh seorang muslim mendzalimi saudaranya sekecil apapun termasuk dalam urusan perniagaan. Setiap aktivitas ekonomi atau perniagaan yang dilakukan oleh seorang muslim haruslah berlandaskan hal tersebut, sehingga akan terhindar dari kegiatan curang yang hanya menguntukan diri sendiri namun merugikan orang banyak. Bagi seorang muslim, keuntungan bukan hal yang paling utama, dibandingkan dengan keberuntangan yang akan Allah berikan kepadanya jika ia berlaku adil dan melakukan perniagaan dengan niat membantu orang lain. Karena tujuan perniagaannya adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah dan keberuntungan dari karunia yang akan diberikan-Nya. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah [62] ayat 10 yang artinya, “... maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Perbuatan ihtikar adalah perbuatan curang yang menguntungkan sebagian kecil orang dan merugikan kebanyakan orang. Perbuatan ini haram berdasarkan hadits yang diriwayatkan imam Muslim dan imam Tirmidzi dari Ma’mar dan diperkuat dengan dalil-dalil Qur’an diatas. Hal ini karena ihtikar atau kegiatan menimbun barang ini tidaklah sesuai dengan tujuan muamalah dalam aturan islam. Ihtikar tidak menimbulkan kemaslahatan bersama dan tidak bermaksud tolong menolong dalam kebaikan.

Jika setiap orang menjalankan perniagaan sesuai dengan hukum ekonomi islam, niscaya akan sejahteralah umat ini. Karena yang dicari oleh mereka bukan sekedar keuntungan yang tinggi namun hal yang jauh lebih tinggi dan banyak daripada itu yaitu keberuntungan dari Allah Yang Maha Kaya dan Maha Pemurah. Keberuntungan dari Allah jauh lebih baik dari keuntungan menimbun barang. Bahkan orang yang mempersulit orang lain maka urusannya pun akan disempitkan. Sebaliknya, barang siapa yang mempermudah urusan orang lain maka akan dimudahkan segala urusannya, dan keberuntungan akan meliputinya. Wallahu ‘alam.

[Tugas UAS Hadits III, Muamalah, Ekonomi Syari'ah,  Semester 4]

Jumat, 13 Mei 2016

Urgensi Semangat Meng-Upgrade Diri

Menjadi seorang aktivis dakwah di lingkungan kampus bukanlah hal yang mudah. Berbagai tuntutan dari berbagai arah datang silih berganti. Tak jarang semua itu membuat diri ini lemah dan semangat menurun. Dan hal yang paling ditakutkan adalah munculnya niatan untuk melangkahkan kaki ini meninggalkan dakwah itu. Naudzubillah. Semoga Allah senantiasa mempersatukan hati kita di jalan dakwah ini.

Lalu bagaimanakah supaya aktivitas dakwah tidak terganggu namun tuntutan akademikpun tetap terpenuhi? Kuncinya adalah UPGRADE DIRI. Jiwa ini tidak akan pernah bisa menghadapi dinginnya cuaca ekstrem jika tidak pernah dipersiapkan untuk menghadapinya. Semakin banyak amanah, semakin banyak aktivitas, semakin padat schecule, harusnya semakin naik pula kualitas keilmuan, makin naik pula kualitas keimanan. Sebagai seorang mahasiswa, tentu tuntutan utama adalah masalah pendidikan. Tidak bisa, dengan alasan sibuk mengurusi dakwah, lalu kita mengabaikan masalah akademik. Keduanya harus di manage dengan baik. Kuliah adalah ibadah. Aktif berdakwah juga adalah ibadah. Maka jangan saling dibenturkan keduanya. Namun di manage dengan baik agar bisa berjalan beriringan dan saling melengkapi. Berniatlah untuk membereskan S1 dengan nilai terbaik. Kemudian jangan berhenti disana. Berniatlah untuk melanjutkan S2. Lalu S3 menjadi Doktor kemudian menjadi Profesor. Keinginan itu penting. Meski hari ini nampak mustahil, ketika kita sudah berniat dan memiliki keinginan, esok hari akan Allah bukakan jalan untuk menuju kesana. InsyaAllah.

Sambil mengejar impian untuk menuntaskan masalah Akademik, perlu kiranya berbenah dalam aktivitas dakwah. Kita harus menjadi seorang KADER YANG UTUH. Seorang aktivis dakwah jangan "bauan". Harus bisa nyaman disemua kondisi setidak nyaman apapun. Dakwah itu adalah jalan yang menanjak dan penuh aral rintang. Jangan pernah memiliki keinginan untuk merasa nyaman dalam dakwah. Jika hal itu muali menghinggapi hati yang rapuh ini. Segeralah meng-Upgrade diri lagi! Jangan dibiarkan dia tumbuh dan menguasai perasaan kita. Sehingga ketika datang seruan dakwah yang memaksa kita keluar dari tempat nyaman itu lantas kita takut dan menolaknya dengan alasan medannya tidak nyaman seperti yang sekarang didiami.

Kita yang hari ini Aktif di dakwah kampus, di KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Komsat UIN SGD Bandung, janganlah merasa nyaman dengan dakwah ini. Mengadakan kegiatan yang aman-aman saja. Suatu saat akan ada saatnya antum terjun di masyarakat. Beralih ke medan dakwah yang jauh lebih kompleks. Janganlah takut! Dimanapun antum berada, asal masih di jalan dakwah niscaya akan ada saudar-saudarmu yang akan merangkulmu, menguatkanmu, dan memapahmu untuk terus berjuang.

Menjadi seorang aktivis dakwah itu dimulai dengan meng-Upgrade diri. Jadikan diri antum shaleh. Menjadi teladan baik bagi yang lainnya. Shaleh dalam artian luas, IPK tinggi, Sopan santun, tutur kata baik, banyak prestasi yang diraih, publik speaking baik, berkomunikasi baik, menguasai bidang kuliah seutuhnya, dan hal lainnya. Namun tidaklah cukup shaleh sendirian. Kita harus menjadi orang yang muslih. Bagilah keshalehan itu kepada orang lain. Ajaklah mereka yang masih nongkrong-nongkrok, belum ngaji, dll. Jangan caci saudara kita itu, mereka belum tersentuh dengan dakwah, ajaklah mereka dengan baik, sesuai segemntasinya, lalu doakan mereka agar bisa bergabung dalam lingkaran dakwah ini! Seorang Aktivis haruslah punya pengaruh. Sekecil apapu pengaruh itu. Baik di dunia kampus ataupun di masyarakat.

#Materi ini disampaikan oleh Ust. Andri Rusmana. Kamis, 12 Mei 2016 pukul 22 : 29 - 01.00 WIB pada kegiatan Halaqah pekanan KAMMI bertempat di Kantor DPD PKS Kota Bandung Jln. Katamsyo No. 17. Dihadiri oleh Akh Wawan, Teteng, Undang, Yogi, Fahmi, Ikbal, Anton, jandi, dan Ega.